BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Moore (1966), mencirikan petani sebagai
kelompok yang berbeda dengan
kelompok
masyarakat yang lain, dengan melihat posisinya sebagai golongan yang tersubordinasi serta
mempunyai budaya yang tersendiri. Sejalan dengan hal tersebut Shanin (1971)
dalam tulisan yang berjudul Peasantry as a Political Factor, mendefinisikan
petani sebagai produsen pertanian skala kecil yang menggunakan peralatan
yang sederhana dan mengerjakan lahan dengan tenaga kerja keluarga, dimana
hasil produksi sebagian besar digunakan untuk konsumsi pribadi dan untuk
memenuhi kewajiban mereka kepada pemegang kekuatan politik dan kekuatan
ekonomi. Namun seiring perkembanganya hubungan petani dengan
pihak yang diatasnya menimbulkan masalah agrarian yang berkepanjangan, mulai
dari era feodalisme, kolonialisme, sampai kapitalisme bahkan masih berlangsung
sampai sekarang ini.
Menurut Moch. Tauchid dalam bukunya “Masalah Agraria” (1952), seperti yang di kutip oleh Andi Yani Sultani seorang mahasiswa pascasarjan
Institut Pertanian Bogor dalam artikelnya yang berjudul Konflik dan Kebijakan Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa menjelaskan “Soal
agrarian adalah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia ; tanah adalah
sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai
makanan”. Karena nilainya yang sangat berharga, maka konflik
tanah selalu hadir di tengah-tengah dinamika sosial di masyarakat. Tanah
terbagi-bagi menjadi hak milik akibat adanya stratifikasi sosial, penguasaan
produksi, kekuasaan politik dan sebagainya. Dengan adanya kepemilikan tanah,
manusia berupaya mempertahankan atau bahkan memperluasnya untuk keberlangsungan
hidup.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaiman
dinamika pertanian sebagai sumber kehidupan dan lahan produksi utama petani
dalam hubunganya dengan penguasa dan kaum swasta pada masa colonial yang
menjadikan dasar gerakan social dari petani…?
2.
Apa yang menyebabkan
lahirnya gerakan social petani sebagai upaya untuk menuntut hak – hak mereka
akibat diskriminasi, eksploitasi, radikalisme dan hegemoni kelas atas, dalam
hal ini pemerintah, maupun pihak – pihak swasta pada masa colonial.?
3.
Jalaskan polarisasi
gerakan yang di bangun oleh para petani pada masa colonial dalam membendung
hegemoni politik colonial dan pihak swasta lainya..?
BAB II
PEMBAHASAN.
A.
Dinamika Pertanian Sebagai Sumber Kehidupan Dan Lahan Produksi Utama Petani
Dalam Hubunganya Dengan Penguasa Dan Kaum Swasta Pada Masa Colonial.
Bagi petani tanah tidak hanya sebagai
komoditas ekonomi, tetapi juga
bermakna
sosial dan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan tempat sumber makanan, tempat mencari
penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas produktif, meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Secara sosial tanah berarti
eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya secara utuh, bahkan
tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat. Di dalam makna keamanan,
tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani jika sesuatu terjadi
pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis bagi petani. Tanah menempati
kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal
utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika
kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, tanah memiliki nilai
yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah bahkan dipandang sebagai
sikep (istri) kedua (Bahri, 1999).
Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan
1989) dan Popkin (1976), di
pedesaan
Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial,
memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu
perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status
sosial, dan desprivasi relatif.
Perubahan
struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem
kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi dengan sistem kapitalis
dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit
rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten. Eksploitasi kolonial
ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan
rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta mengkhianati sendi -
sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi (Scott,
1976).
Menurut Sartono Kartodirjo
(1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama,
pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari yang semula merupakan
pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua,
dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan militer untuk
mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam
bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem pertanian modern dalam
bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah
dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari tangan penduduk, mereka
yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan
buruh perkebunan. Kolonialisme
dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan
sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria yang terjadi telah
menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari
bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada pada masa bagi hasil,
kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan
perlindungan kepada para petani miskin terhadap fluktuasi pasar
(Kartodirjo, 1984).
B.
Faktor Lahirnya
Gerakan Sosial Petani.
Kemerosotan ekonomi secara
mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang
dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan secara
berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan
hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring pengaman sosial
mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan
eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Perlawanan petani lahir
karena adanya pengorganisasian yang di alkuakan oleh satu atau beberapa orang
tokoh karismatik. Seperti halnya kata Marx (1850)
dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat
memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri. Mereka tidak mampu
merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus
diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai
pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka
dari tekanan kelas lain.
Tekanan struktural, kultural, hingga
kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi, menurut Scott
(1976), hal ini sudah cukup untuk
menjadi
pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Gerakan – gerakan
perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali berpusat pada mitos
tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata ketimbang dengan
tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu mitos bersama tentang
keadilan yang transedental sering dapat menggerakan kaum tani untuk
melakukan gerakan sosial. Mitos – mitos seperti ini mempersatuakan kaum tani
hingga mampu membentuk koalisi – koalisi petani, meskipun tidak stabil,
sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara waktu oleh suatu impian
milenial (Wolf, 1966).
Berdasarkan penjelasan di
atas secara umum ada beberapa factor yang memicu lahirnya gerakan social petani
seperti sebagai berikut;
Pertama Radikalisasi terhadap Petani. Radikalisasi terhadap petani tersebut menjadi hal
yang mendasar yang memicu lahirnya gerakan social dari petani pada masa
colonial. Pada umumnya, kondisi tersebut berasal
dari luar masyarakat
petani, seperti penindasan, pungutan pajak, pengekangan hak, pembatasan kerja, dsb. Radikalisme
terhadap petani ini rata terjadi semua terhadap petani pada masa colonial
seperti yang terjadi di banten yang kemudian meahirkan pemberontakan petani
banten 1888.
Pada tahun 1882
dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua
malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan,
hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh
dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini,
menyebabkan kelaparan merajalela. Karena kurangnya makanan ini maka banyak
penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum
perempuan. Karena musim
kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang
ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat,
sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau
membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau
yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain.
Ironisnya,
kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak
sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini
mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari
catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat
lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya
(Kartodirdjo, 1988:88).
Kesedihan
yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat
Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30
meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta
desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ±
21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh
lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah yang
datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak
luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial
politik dan kehidupan keagamaan. Sementara itu, pihak pemerintah kolonial
melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai
kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat
menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin
menambah penderitaan rakyat.
Berbagai
macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah
pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak
jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak
mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut
menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Radikalisme terhadap petani ini jugalah yang
menyebabkan gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang
tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial
yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka
dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah.
Yang
ke dua Pengorganisiran
Petani Proses mobilisisasi petani, baik berupa sumberdaya yang bersifat terbatas
seperti uang dan makanan ataupun individu petani itu sendiri, guna mencapai suatu
tujuan tertentu, pengorganisiran dapat bersifat formal atau informal. Pengorganisasian petani ini biasanya di lakukan oleh
seorang tokoh karismatik dalam rangka menanamkan dokrinitas untuk melawan
segala bentuk penindasan terhadap politik colonial, dan kapitalisme. Dengan hal
ini masyarakan percaya akan sesuatu hal yang berkaitan dengan juru pembebasan
ataupun juru selamat yang akan membebaskan mereka. Perorganisasian petani ini
bias kita lihat dari gerakan petani banten, gerakan ratu adil dll.
Yang ke tiga
Makna
Tanah Bagi Petani. intepretasi
yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada antara petani dengan tanah, dapat
bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural.
Hal ini kemudin terjadi sebuah perubahan oleh system yang di berlakukan oleh
pemerintahan hindia belanda. Dimana semulanya tanah merupakan hal yang sakral
bagi petani namun politik colonial mengambil alih itu semua.
C.
Polarisasi Gerakan Yang Di Bangun Oleh Para Petani
Dalam Membendung Hegemoni Politik Colonial Dan Pihak Swasta Lainya.
Beban
penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian menjadi lahan yang subur
bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap
pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Perang Jawa atau banyak
dikenal sebagai perang Diponegoro menjadi salah satu bentuk perlawanan kaum
tani yang pada saat itu mengalami penderitaan karena dikenai berbagai macam
pajak baik oleh Belanda maupun kerajaan Mataram. Itulah yang menjadi sebab
mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa
kerajaan Mataram. Bukan pertama-tama karena kepahlawanan Pangeran Diponegoro,
karena ajakan Diponegoro untuk melawan Belanda tidak akan disambut luas jika
massa rakyat memang tidak memendam kemarahan besar terhadap Belanda. Di sinilah
nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang Jawa
dapat terjadi, meluas di berbagai wilayah di Jawa, dan bertahan selama kurun
waktu yang lama (5 tahun).
Untuk kasus
pemberontakan atau perlawanan petani di Banten mulai muncul ketika tahun 1808,
Daendels mengapuskan tanah-tanah milik sultan lalu memungut seperlima bagian
dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di
Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai
satu-satunya pajak tanah. Pemegang-pemegang hak atas tanah menerima ganti rugi
atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti. Namun, hal ini justru
memunculkan peluang-peluang pamongpraja untuk melakukan korupsi. Disinilah
kemudian timbul suatu konflik kepentingan yang mencekam masyarakat Banten
sampai meletusnya pemberontakan.
Perlawanan bersenjata ini
merupakan yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah
peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888
yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di
rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad
menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh
itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial.
Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail,
Haji Marjuki, dan Haji Wasid atau KH. Wasyid.
Bentuk
perlawanan petani ini juga dapat terlihat dari bentuk gerakan resistensi petani
yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal
sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu
distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan
tanah. Entong Tolo 50 tahun seorang pedagang asal Pondok Gede kemudian pindah
ke Pagerarang, Jatinegara. Dalam situasi masyarakat yang tidak menentu Entong
Tolo mengambil keuntungan, dia membantu petani yang tinggal di tanah partikelir
yang menderita karena tekanan berbagai pajak. Polisi agak kewalahan
memenjarakan Tolo karena tidak mempunyai bukti.
Perbanditan
Entong Gendut terjadi pada tahun 1916, dia meneriakkan suara ketidakpuasan
petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, Afdeling
Jatinegara. Resistensi petani di tanah partikelir ini kemudian berkembang
menjadi gerakan Quasi-Religius. Entong Gendut menghalangi eksekusi penduduk
Batuampar dan Balekambang, Condet yang tidak melunasi hutang dan kewajiban
mereka terhadap tuan tanah. Pengikut Entong Gendut bertambah banyak dan ia
menyebut dirinya Raja Muda yang dibantu delapan orang patih. Perbanditan Entong
Gendut pada dasarnya adalah perbedaan kepentingan yang bermaksud melindungi
petani dari penghisapan dan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang
membakar rumah mereka, keberanian para bandit itu diikat oleh nilai religious.
Kaiin Bapa
Kayah memimpin untuk mengusir Cina dan merampas tanahnya, karena menurut mereka
tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya. Resistensi petani di
wilayah lainnya juga banyak dilakukan dengan cara pembakaran terhadap lahan
perkebunan. Pembakaran tebu dan los tembakau dan sejenisnya banyak terjadi di
daerah Surakarta. Namun demikian laporan colonial tidak member porsi yang wajar
terhadap resistensi petani berupa pembakaran.
Terjadi pula
perlawanan petani dengan orientasi utama adalah anti tuan tanah partikelir.
Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari desa
pangkalan mempunyai tujuan untuk membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan
tanah Cina.
Konsep ratu
adil akan diikuti dengan konsep berikutnya, yakni Milenarianisme. Milenarianisme
atau milenialisme adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau
gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam
masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah kearah yang positif
(atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas). Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial
Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi
berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus
dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa
oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tiga unsur
gerakan Saminisme: pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat
kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris
terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik
yang mencolok, dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak
membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan
agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Dalam
catatan sejarah bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria
tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian
dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan,
sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun
tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di
balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan
petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa
kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa
pertanahan. Pada era kolonialisme, kebijakan tanam paksa dan penerapan pajak
tanah merupakan awal dari tertanamnya rasa kebencian masyarakat, terutama bagi
mereka yang berada jauh dari lingkaran kekuasaan. Bentuk-bentuk paksaan dan
pungutan yang sangat eksploitatif ini dianggap merusak sistem pemilikan tanah
di pedesaan. Dalam sekejap, tanah rakyat menjadi semakin terfragmentasi,
menyusut dan membuat kehidupan ekonomi petani semakin melarat.
B.
Saran.
Gerakan social petani masa kolonialisme dan diskriminasi, eksploitasi, dan
radikalisasi yang tercipta saat itu haruslan menjadi landasan berpikir kita
bahwa sampai hari ini penindasan pola yang sama yang lahir dari system jaman
dahulu juga ikut terjadi di jaman sekarang. Dari hal tersebut tinggal bagaimana
kita menyikapinya, dan pertanyaanya sekarang, gerakan apa untuk membebaskan
rakyat dari diskriminasi, eksploitasi, dan radikalisasi yang tercipta. Silahkan
kawan – kawan berpikir.