Selasa, 09 Juli 2013

MAKALAH SEJARAH GERAKAN SOSIAL PETANI



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah.

Moore (1966), mencirikan petani sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain, dengan melihat posisinya sebagai golongan yang tersubordinasi serta mempunyai budaya yang tersendiri. Sejalan dengan hal tersebut Shanin (1971) dalam tulisan yang berjudul Peasantry as a Political Factor, mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian skala kecil yang menggunakan peralatan yang sederhana dan mengerjakan lahan dengan tenaga kerja keluarga, dimana hasil produksi sebagian besar digunakan untuk konsumsi pribadi dan untuk memenuhi kewajiban mereka kepada pemegang kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Namun seiring perkembanganya hubungan petani dengan pihak yang diatasnya menimbulkan masalah agrarian yang berkepanjangan, mulai dari era feodalisme, kolonialisme, sampai kapitalisme bahkan masih berlangsung sampai sekarang ini.
Menurut Moch. Tauchid dalam bukunya “Masalah Agraria” (1952), seperti yang di kutip oleh Andi Yani Sultani seorang mahasiswa pascasarjan Institut Pertanian Bogor dalam artikelnya yang berjudul Konflik dan Kebijakan Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa menjelaskan “Soal agrarian adalah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia ; tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan”. Karena nilainya yang sangat berharga, maka konflik tanah selalu hadir di tengah-tengah dinamika sosial di masyarakat. Tanah terbagi-bagi menjadi hak milik akibat adanya stratifikasi sosial, penguasaan produksi, kekuasaan politik dan sebagainya. Dengan adanya kepemilikan tanah, manusia berupaya mempertahankan atau bahkan memperluasnya untuk keberlangsungan hidup.


B.            Rumusan Masalah.
1.             Bagaiman dinamika pertanian sebagai sumber kehidupan dan lahan produksi utama petani dalam hubunganya dengan penguasa dan kaum swasta pada masa colonial yang menjadikan dasar gerakan social dari petani…?
2.             Apa yang menyebabkan lahirnya gerakan social petani sebagai upaya untuk menuntut hak – hak mereka akibat diskriminasi, eksploitasi, radikalisme dan hegemoni kelas atas, dalam hal ini pemerintah, maupun pihak – pihak swasta pada masa colonial.?
3.             Jalaskan polarisasi gerakan yang di bangun oleh para petani pada masa colonial dalam membendung hegemoni politik colonial dan pihak swasta lainya..?


BAB II
PEMBAHASAN.
A.           Dinamika Pertanian Sebagai Sumber Kehidupan Dan Lahan Produksi Utama Petani Dalam Hubunganya Dengan Penguasa Dan Kaum Swasta Pada Masa Colonial.
Bagi petani tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga bermakna sosial dan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan tempat sumber makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Secara sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat. Di dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis bagi petani. Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah bahkan dipandang sebagai sikep (istri) kedua (Bahri, 1999).
Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976), di pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif. Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten. Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta mengkhianati sendi - sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi (Scott, 1976).
Menurut Sartono Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari yang semula merupakan pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan militer untuk mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan buruh perkebunan. Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).

B.            Faktor  Lahirnya Gerakan Sosial Petani.
Kemerosotan ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Perlawanan petani lahir karena adanya pengorganisasian yang di alkuakan oleh satu atau beberapa orang tokoh karismatik. Seperti halnya kata Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri. Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain.
Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi, menurut Scott (1976), hal ini sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Gerakan – gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos – mitos seperti ini mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi – koalisi petani, meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara waktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).
Berdasarkan penjelasan di atas secara umum ada beberapa factor yang memicu lahirnya gerakan social petani seperti sebagai berikut;
Pertama Radikalisasi terhadap Petani. Radikalisasi terhadap petani tersebut menjadi hal yang mendasar yang memicu lahirnya gerakan social dari petani pada masa colonial. Pada umumnya, kondisi tersebut berasal dari luar masyarakat petani, seperti penindasan, pungutan pajak, pengekangan hak, pembatasan kerja, dsb. Radikalisme terhadap petani ini rata terjadi semua terhadap petani pada masa colonial seperti yang terjadi di banten yang kemudian meahirkan pemberontakan petani banten 1888.
Pada tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan. Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat.
Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Radikalisme terhadap petani ini jugalah yang menyebabkan gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah.
Yang ke dua Pengorganisiran Petani Proses mobilisisasi petani, baik berupa sumberdaya yang bersifat terbatas seperti uang dan makanan ataupun individu petani itu sendiri, guna mencapai suatu tujuan tertentu, pengorganisiran dapat bersifat formal atau informal. Pengorganisasian petani ini biasanya di lakukan oleh seorang tokoh karismatik dalam rangka menanamkan dokrinitas untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap politik colonial, dan kapitalisme. Dengan hal ini masyarakan percaya akan sesuatu hal yang berkaitan dengan juru pembebasan ataupun juru selamat yang akan membebaskan mereka. Perorganisasian petani ini bias kita lihat dari gerakan petani banten, gerakan ratu adil dll.
Yang ke tiga Makna Tanah Bagi Petani. intepretasi yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada antara petani dengan tanah, dapat bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural. Hal ini kemudin terjadi sebuah perubahan oleh system yang di berlakukan oleh pemerintahan hindia belanda. Dimana semulanya tanah merupakan hal yang sakral bagi petani namun politik colonial mengambil alih itu semua.


C.           Polarisasi Gerakan Yang Di Bangun Oleh Para Petani Dalam Membendung Hegemoni Politik Colonial Dan Pihak Swasta Lainya.
Beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Perang Jawa atau banyak dikenal sebagai perang Diponegoro menjadi salah satu bentuk perlawanan kaum tani yang pada saat itu mengalami penderitaan karena dikenai berbagai macam pajak baik oleh Belanda maupun kerajaan Mataram. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan Mataram. Bukan pertama-tama karena kepahlawanan Pangeran Diponegoro, karena ajakan Diponegoro untuk melawan Belanda tidak akan disambut luas jika massa rakyat memang tidak memendam kemarahan besar terhadap Belanda. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang Jawa dapat terjadi, meluas di berbagai wilayah di Jawa, dan bertahan selama kurun waktu yang lama (5 tahun).
Untuk kasus pemberontakan atau perlawanan petani di Banten mulai muncul ketika tahun 1808, Daendels mengapuskan tanah-tanah milik sultan lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Pemegang-pemegang hak atas tanah menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti. Namun, hal ini justru memunculkan peluang-peluang pamongpraja untuk melakukan korupsi. Disinilah kemudian timbul suatu konflik kepentingan yang mencekam masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan.
Perlawanan bersenjata ini merupakan yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid atau KH. Wasyid.
Bentuk perlawanan petani ini juga dapat terlihat dari bentuk gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah. Entong Tolo 50 tahun seorang pedagang asal Pondok Gede kemudian pindah ke Pagerarang, Jatinegara. Dalam situasi masyarakat yang tidak menentu Entong Tolo mengambil keuntungan, dia membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang menderita karena tekanan berbagai pajak. Polisi agak kewalahan memenjarakan Tolo karena tidak mempunyai bukti.
Perbanditan Entong Gendut terjadi pada tahun 1916, dia meneriakkan suara ketidakpuasan petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, Afdeling Jatinegara. Resistensi petani di tanah partikelir ini kemudian berkembang menjadi gerakan Quasi-Religius. Entong Gendut menghalangi eksekusi penduduk Batuampar dan Balekambang, Condet yang tidak melunasi hutang dan kewajiban mereka terhadap tuan tanah. Pengikut Entong Gendut bertambah banyak dan ia menyebut dirinya Raja Muda yang dibantu delapan orang patih. Perbanditan Entong Gendut pada dasarnya adalah perbedaan kepentingan yang bermaksud melindungi petani dari penghisapan dan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang membakar rumah mereka, keberanian para bandit itu diikat oleh nilai religious.
Kaiin Bapa Kayah memimpin untuk mengusir Cina dan merampas tanahnya, karena menurut mereka tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya. Resistensi petani di wilayah lainnya juga banyak dilakukan dengan cara pembakaran terhadap lahan perkebunan. Pembakaran tebu dan los tembakau dan sejenisnya banyak terjadi di daerah Surakarta. Namun demikian laporan colonial tidak member porsi yang wajar terhadap resistensi petani berupa pembakaran.
Terjadi pula perlawanan petani dengan orientasi utama adalah anti tuan tanah partikelir. Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari desa pangkalan mempunyai tujuan untuk membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan tanah Cina.
Konsep ratu adil akan diikuti dengan konsep berikutnya, yakni Milenarianisme. Milenarianisme atau milenialisme adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah kearah yang positif (atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas). Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tiga unsur gerakan Saminisme: pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok, dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan.
Dalam catatan sejarah bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan, sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa pertanahan. Pada era kolonialisme, kebijakan tanam paksa dan penerapan pajak tanah merupakan awal dari tertanamnya rasa kebencian masyarakat, terutama bagi mereka yang berada jauh dari lingkaran kekuasaan. Bentuk-bentuk paksaan dan pungutan yang sangat eksploitatif ini dianggap merusak sistem pemilikan tanah di pedesaan. Dalam sekejap, tanah rakyat menjadi semakin terfragmentasi, menyusut dan membuat kehidupan ekonomi petani semakin melarat.
B.            Saran.
Gerakan social petani masa kolonialisme dan diskriminasi, eksploitasi, dan radikalisasi yang tercipta saat itu haruslan menjadi landasan berpikir kita bahwa sampai hari ini penindasan pola yang sama yang lahir dari system jaman dahulu juga ikut terjadi di jaman sekarang. Dari hal tersebut tinggal bagaimana kita menyikapinya, dan pertanyaanya sekarang, gerakan apa untuk membebaskan rakyat dari diskriminasi, eksploitasi, dan radikalisasi yang tercipta. Silahkan kawan – kawan berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan berikan kritik dan saran anda.