DISINTEGRASI SOSIAL DI TENGAH PLURALIS
MASYARAKAT, SEBUAH KAJIAN KONDISI KEDOMPUAN.
Oleh : Ardiansyah Ibrahim.
Dalam suatu masyarakat adanya perbedaan
merupakan sebuah keniscayaan sebagaiman dalam QS. al hujuraat ayat 13 "Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki - laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku - suku
supaya kamu saling kenal - mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". Plural dalam
masyarakat inilah yang kemudian melahirkan pola – pola tersendiri Dalam
kehidupan masyarakat, sehingga kemudian konsekuensi logisnya adalah perbedaan
antar individu, kelompok dan golongan haruslah di terima di tengah – tengah
masyarakat.
Plural dan konflik sosial.
Sub poin yang berikut ini kita akan
mendiagnosis penyakit yang menyebabkan apa sesungguhnya penyebab penyakit
sosial di kabupaten dompu nusa tenggara barat, kenapa kemudian hal ini perlu di
bahas karena sesungguhnya menarik kemudian di bongkar segala unsure yang
terlibat sebagai penyebab konflik sosial ini baik iitu kemudian unsure
masyarakatnya, unsure pemudanya, factor pemimpinya, dan konflik sosial ini bagi
penulis tidak akan memisahkan dengan demokrasi serta kekuasaan - kekuasaan yang
di tawarkan oleh demokrasi baik itu menyangkut lembaga eksekutif, lembaga
legislative maupun lembaga yudikatif.
1. Unsur
pemuda.
Berbagai media baik itu media cetak maupun
media elektronik rata – rata memberitakan bahwa dari berbagai kasus konflik
sosial di masyarakat dompu kebanyakan di sebabkan oleh pemuda dan pergaulanya
sebagaimana kemudian di paparkan oleh anggota DPD RI asal NTB, Prof. Farouk
Muhammad bahwa:
" pemuda di bawah umur 20 tahun menjadi
sasaran empuk untuk didoktrin dengan paham-paham radikal. Selain itu,
menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat
kepolisian turut juga menyebabkan masyarakat lebih percaya kepada isu-isu yang
sebarkan dari SMS dan lainnya ketimbang langsung menanyakannya kepada aparat
desa atau aparat Kepolisian " (SUARA NTB. Update. Selasa 08/01/2013)
Begitu juga yang di beritakan dalam vivanews
lagi – lagi memaparkan bahwa konflik sosial terjadi akibat pergaulan pemuda
yang kemudian cenderung berujung anarkis.
" Bentrokan ini disebabkan perkelahian
antara pemuda kedua kelompok dalam sebuah acara organ tunggal. Aparat
kepolisian masih menjaga lokasi agar bentrokan tidak terulang."
" Bentrokan kemarin dipicu persoalan
adu balap motor liar. Akibatnya, massa dari dua desa saling serang menggunakan
senjata rakitan dan senjata tajam. Sejumlah rumah milik warga dan kios yang
berada di pinggir jalan, serta satu sepeda motor juga dibakar massa."
(vivanews. Jum'at, 5 Juli 2013 | 09:49 WIB).
Artinya bahwa persoalan yang besar terhadap
disintegrasi sosial di kabupaten dompu akibat ulah pemuda yang kemudian tidak
bertanggung jawab dan tidak matang pada pendekatan kedewasaanya sehingga kemudian
mampu di pengaruhi oleh lingkungan, dan factor eksternal yang memiliki
kepentingan – kepentingan individual. Artinya bahwa sebagaimana pemuda yang
merupakan pemicu lahirnya konflik sosial maka kemudian banyak factor kematangan
yang belum terpenuhi dalam diri pemuda itu sendiri sehingga kemudian factor
pendidikanlah yang yang menjadi usaha sadar dalam mematangkan manusia sehingga
dalam kehidupan bermasyarakat pemuda akan tau tanggung jawab individualnya,
maupun tanggung jawab sosialnya. Kenapa demikian, karena manakala pendidikan
tidak kita tempatkan sebagai factor yang palng urgen dalam mematangkan manusia
agar menjadi manusia yang sesungguhnya maka jangan heran sehingga konflik
sosial akan terjadi di mana – mana, masyarakat yang tidak beradap akan terjadi
dimana, dan disintegrasi serta kehancuran nilai – nilai yang menopang kehidupan
bersosial hanya di tunggu tibanya saja.
2. Unsur
kepemimpinan.
Hal yang menarik yang kemudian saya coba
analisis penyebab terjadinya konflik sosial yang terjadi di tengah – tengah
masyarakat dompu ialah hilangnya sosok kepemimpinan yang menjadi pengembala,
menjadi imam, yang kemudian di patuhi pembicaraanya, dan di teladani
perbuatanya. Sebagaimana kemudian kita gunakan pendekatan historis bahwa
masyarakat dompu ialah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai – nilai
kepemimpinan dan ketokohan seorang pemimpin. Ketokohan dan kegagahan seorang
pemimpin bagi masyarakat dompu bisa kita lihat sebagaiman mulai dari jaman
naka, jaman ncuhi, jaman kerajaan serta jaman kesultanan. Jaman kesultanan
masyarakat dompu saya nilai menggambarkan betul bagaiman karakteristik pemimpin
yang di dambakan oleh masyarakat dompu, yang kemidan di teladani tingkah
lakunya, dan di patuhi pembicaraan serta teguranya. Pemimpin dalam konsep ngusu
waru ( pote waru ), yang kemudian delapan unsure yang kemudian mesti harus
terpenuhi dalam diri seseorang yang akan memimpin, dalam diri seseorang yang
akan menjadi imam masyarakat dompu. Manakala karakter kepemimpinan ini masih
ada yang di lekatkan pada diri pemimpin sekarang maka konflik sosial bukanlah
sebuah keniscayaan.
Tetapi masalah yang kemudian terjadi dewasa ini
di daerah dompu, nilai seorang pemimpin yang junjung tinggi, dipatuhi, dan
didengarkan pembicaraan serta perbuatanya sudah luntur seiring perkembangan
demokrasi. Kenapa kemudian saya bahasakan luntur seiring demokrasi ternyata
demokrasi menjadi salah satu pemicu baru lahirnya konflik sosial ini, tetapi
pada sub yang ini kita masih akan membehas hilangnya karakter seorang pemimpin
bukalah demokrasinya. Kalau saja kawan mau melihat di mana sesungguhnya
karakter kepemimpinan yang hilang dari masyarakat dompu sekarang ini baik mari
kita uji sama – sama sekarang.
·
dou maja labo dahu dinadai Ruma Allahu Ta’ala.
Ketika kita benturkan pemimpin dompu sekarang
ini dengan kondisi masyarakat dompu sekarang ini, dompu magrib mengaji dll
sebagaiman budaya budaya islam sudah semakinluntur di makan jaman, jadi
criteria yang pertama dalam diri pemimpin dompu akan coba kita representatifkan
dengan dengan jiwa keislaman masyarakat dompu. Pertanyaanya kenapa demikian??,
karena ketika pemimpinya betul – betul menjunjungtinggi ketkwaan kepada tuhan
maka jangan heran kalau masyarakatnya juga akan mengikuti apa yang di lakukan
oleh pemimpinya. Artinya representative dari nilai ngusu waru pertama dari
seseorang yang memimpin dompu sekrang ialah sejauh mana dia mempemposisikan
amanah yang dia emban dalam rangka menciptakan jiwa – jiwa islami pada
masyarakat dompu.
·
dou ma bae ade.
Artinya, orang yang memiliki kapasitas
intelektual serta kepekaan jiwa (spiritual) yang mendalam sehingga dengan mudah
menanggapi berbagai permasalahan yang terjadi, secara rasional dan intuitif
serta tidak mudah bersikap emosional dalam arti negatif. Karena itu, ia selalu
mampu mengontrol dirinya sedemikian rupa sehingga tidak mampu terbawa oleh
pemikiran yang bersifat polaritas: prokontra, kiri-kanan, hitam-putih, dan
sejenisnya (unca-anca, ngu’e-nga’e). Tapi ia mampu mengajukan pikiran yang
partisipatif, akomodatif, dan adaptif. Jadi ia mampu memodernisasi,
menjembatani, mencari titik temu, dari dua/lebih hal yang ekstrim sedemikian
rupa sehingga ia mampu berada “ditengah-tengah”, menjadi wasit, adil dan
santun. Dia tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan, ia anti kekerasan
sesuai dengan makna instrinsik dari kata DOMPU atau DOMPO. Berangkat dari dis
integrasi sosial masyarakat dompu sekarrang, maka kemudian hal kedua yang mesti
melekat pada diri seorang pemimpin masyarakat dompu juga sudah ikut luntur.
·
Dou mbani labo disa
Artinya orang yang memiliki sifat berani
melakukan perubahan (reformasi) kearah yang lebih positif-konstruktif karena
diyakini kebenarannya. Karena itu, ia berani mempertanggungjawabkan perbuatanya
kini disini, di dunia, dihadapan UUD 45 dan pancasila serta dihadapan Allah
SWT, yaitu dihari perhitungan yang amat cermat lagi teliti, di yaumul hisab,
nantinya. Dalam al-quran telah dijelaskan yang artinya “Sesungguhnya aku yakin
bahwa sesungguhnya kelak aku akan menemui hisab oleh dan terhadap diriku
sendiri(QS. Al Haqqah, 69:20). Sesungguhnya revormasi fisik dan kesejahteraan
sosial yang menindikasikan adanya jiwa konstruktif dari pemimpin dompu sekarang
ini belum ada sama sekali. Buktinya bebeapa tehun terakhir ini di tengah – tengah
terjadinya konflik sosial di daerah dompu tidak ada sama sekali formulasi serta
restorasi fisik yang diciptakan oleh pemimpin dompu dewa ini.
·
dou ma lembo ade ro ma na’e sabar.
Artinya orang yang lapang dada (berjiwa
demokratis dan akomodatif) yang mampu menjembatani hal-hal yang dapat
menimbulkan polaritas (pro-kontra). Dengan berkat kesabarannya ia tidak mudah
memihak kepada hal-hal yang nampaknya secara lahiriah, menguntungkan, padahal
justru membahayakan. Dengan demikian ia, mampu mengatasi berbagai krisis yang
terjadi. Karena ia memiliki tekad/semangat yang membaja dalam meraih tujuan
yang lebih luhur, lebih membahagiakan. Ia mantapkan tekad/semangat dengan
mengatakan” kalembo ade, kana’e saba, kapaja syara’, sia sawa’u, su’u sawale.
Insya Allah, Allah SWT akan menolong siapa saja, selama orang tersebut memiliki
sikap seperti itu. Perhatikan QS. Al-Baqarah, 2: 45 dan 153 yang artinya “Dan
mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya
yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”. Sabar
itu selalu pahit pada awalnya, tetapi manis pada akhirnya. “Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan”(QS. Ali Imran, 3:186).
Saya kira jiwa ini belum saya lihat dari pemimpin kita sekarang, karna saya
lihat justru ketika terjadi konflik antar kampong yang terjadi hanyalah
tindakan represif dari anggota kepolisian, diman – mana hadir peluru nyasar.
Saya kira ini kita akan kembalikan pada sosok pemimpin kita.
·
dou ma ndinga nggahi rawi pahu.
Artinya, orang yang jujur. Orang yang satu kata
dengan perbuatannya (tidak hipokrit), karena apa yang telah dikatakan atau yang
telah disepakati bersama misalnya, itu pulalah yang akan dilaksanakanbersama
secara arif, sehingga menghasilkan suatu yang sangat positif dan konstruktif,
ntau pahu. Hal itu dimungkinkan karena ia memiliki kemampuan terutama dalam hal
penggunaan kata/kalimat yang secara psikologis dan secara moral dapat
mengantarkan dirinya dan orang lain kepada satunya kata dan perbuatan.
Ungkapan tersebut sesungguhnya merupakan
manifestasi dari orang yang kuat imannya (cia imbina) kepada adanya Allah SWT
sebagai pencipta alam semesta sekaligus sebagai pelindung dan pemeliharanya. Keimanan
seperti itu, harus diyakini dengan hati (kapodaku ba ade), diucapkan dengan
lisan (rentaku ba rera/lera) dan diamalkan dengan anggota badan (karawiku ba
weki/sarumbu). Ketiga-tiganya harus berjalan secara simultan dan seimbang.
Bukan sebaliknya, nggahi wari pahu (hipokrit). Bukan seperti itu. Karena ia
yakin bahwa allah SWT sangat marah (benci) kepada orang-orang dengan tipe
seperti itu. QS. As-Saf, 61: 1-2, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman!
Mengapa kamu mengatakan (sesuatu) apa yang kamu tidak perbuat. Amat besar
kebencian di hadirat Allah SWT (apabila) kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan”.
Karna topic pembahasan kita hari ini ialah
konflik sosial konsep yang di tawarkan sebagai formulasi untuk meredam dan
mengahiri konflik sosial di masyarakat ompu sekarang belum ada sama sekali.
Karna makalah sudah ada konsep yang di tawarkan oleh sosok pemimpin harii ini
niscaya hasilnya akan kita lihat, niscaya konflik sosial dan disintegrasi
sosial akan berakhiir di daerah dompu tercinta ini. Disinilah korelasi karakter
" ndinga nggahi ro rawi " dari seorang pemimpin dompu.
·
dou ma taho hid’i atau londo dou ma taho.
Artinya, orang yang memiliki integritas
kepribadian yang kokoh-kuat dan berwibawa. Dedikasinya tinggi serta loyal akan
perjuangan, menegakkan keadilan dan kebenaran. Jadi, taho hid’i disini, bukan
pada penampakan fisik kejasmaniannya yang tampan, cantik, dan/atau gagah saja.
Bukan itu, itu belum cukup. Tetapi yang sangat penting pada aspek integritas
kepribadian yang sidik (jujur), tidak bohong, amanah (dapat dipercaya), tidak
khianat, tabaliq (transparan dan komunikatif) tidak sembunyi-sembunyi, serta
fatonah (cerdas dan kreatif), tidak bohong/dungu, sedemikian rupa, sehingga
menampakkan pribadi manusia seutuhnya: proporsional dan harmonis. Harmonis
antara fisik-kejasmanian dan psikhis-kerohanian, secara sempurna. Atau meminjam
istilah dalam tasawuf, ia menjadi “insan kamil”, yaitu manusia yang selalu
dalam “proses menjadi” sempurna.
Jadi “dou ma taho hid’i” atau “londo dou ma
taho”. Artinya orang yang seimbang antara struktur tubuhnya yang gagah (pria)
atau cantik (wanita) dan berakhlak baik/akhlakul karimah. Pertanyaan saya
kemudian apa yang sudah di perjuangkan oleh pemimpin kita dewasa ini yang
menggambarkan kegagahan dan kecapanya dalam memimpin. Buktinya adalah konflik
sosial masih etrus terjadi dii daerah dompu ini.
·
dou ma d’i woha dou.
Artinya, orang yang selalu merasa terpanggil
untuk mengambil tanggung jawab, ditengah-tengah komunitasnya, baik ditingkat
lokal, memiliki akses tingkat nasional, dan syukur-syukur di tingkat
Internasional. Dan karenanya, ia selalu dekat di hati rakyat, ia selalu
dicintai rakyatnya. Dengan demikian, ia selalu unggul dalam setiap kegiatan
yang bersifat kompetitif dan yang melibatkan orang banyak (publik). Betapa
tidak, karena ia selalu hadir di tengah-tengah publik, baik dikala suka maupun
dikala duka, dengan tidak membeda-bedakan status sosial; kaya-miskin, orang
kota-orang gunung, bangsawan-budak (ada dou). Ia berkeyakinan bahwa kesusahan,
penderitaan orang lain, adalah peluang baginya untuk beribadah kepada Allah
SWT, dengan cara memudahkan urusan sedemikian rupa, sehingga orang itu merasa
berbahagia berada di sampingnya.
Jelas bahwa karakteristik ini kemudian juga
belum terpenuhi dalam diri seorang pemimpin yang ada di tengah – tengah
masyarakat dompu dewasa in, sebagaiman kemudian disintegrasi sosial di dompu
dewasa ini belum ada yang hadir sebagai soslusi bagi masyarakat, yang kemudian
menyadarkan masyarakat, yang kemudian di dengarkan pembicaraanya dan di
teladani tingkah laku serta perbuatanya.
·
dou ma ntau ro wara.
Artinya, orang yang memiliki kekayaan
(maksudnya, bukan hanya memiliki kekayaan bersifat materi-kebendaan saja,
tetapi yang penting, kaya rokhani), sehingga tidak mudah tergoda oleh hal-hal
yang bersifat materi. Betapapun ia menghajatkannya. Atau menurut ungkapan yang
populer di era roformasi dewasa ini, ia tidak mau melakukan KKN alias Kuku Keko
Ndimba (istilah lokal). Betapapun ia menghajatkan materi-uang, karena sangat
bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan sifat-sifat yang
terpuji seperti yang tersebutkan di atas. Jadi, dia sudah merasa kaya secara
rokhaniah maupun secara moral. Dengan demikian, ia mampu menilai bahwa sebuah
benda yang berharga itu, tidak ubahnya ibarat sebutir batu/kerikil yang
berserakan disepanjang jalan. Ia sama sekali tidak terusik untuk memilikinya
melebihi porsi yang diperlukannya. Lagipula, sesuai dengan haknya tidak lebih
dari itu.
Kekayaan yang mesti tepenuhi dalam diri seorang
pemimpin dompu ialah kaya secara ilmu pengetahuan, serta kaya akan kepribadian
dan budi pekerti luhurnya, nah ketika kemudian kita benturkan kepada sosok
pemimpin kita dewasa ini sudah terpenuhi nga kekayaan yang kita dambakan
tersebut???.
Dari pengujian di atas jelas bahwa apa yang
kita dambakan dari sosok pemimpin ngusu waru ( pote waru ) di tengah – tengah
masyarakat dompu sudah luntur dimakan jaman, sehingga di heran ketika kemudian
disintegrasi sosial terjadi di berbagai daerah di dompu, karna memang tidak ada
sosok imam secara spiritual bias mereka dengarkan pencerahanya, tidak ada sosok
sosok imam secara intelektual yang kemudian berada di tengah – tengah mereka
yang selalu melahirkan solusi, pandangan konstruktif yang kemudian mengisi jiwa
– jiwa yang dahaga, jiwa – jiwa yang lapar dan haus akan integrasi sosial di
tengah pluralitas masyarakatnya.
3. Aktor
Demokrasi dan masyarakat.
Kenapa kemudian saya menyertakan demokrasi
sebagai salah satu penyebab terjadi konflik sosial di tengah – tengah
masyarakat dompu, karena memang tidak bias di nafikkan banyak kemudian
penyelanggaraan pemilihan umum mulai dari memilih kepala daerah, sampai pada
pemilihan kepala desa cenderung memicu terjadinya konflik sosial. Pada poin ini
saya tidak menyalahkan demokrasinya tetapi pada poin ini saya menganalisi
keterlibatan actor demokrasi dan kesiapan masyarakat untuk berdemokrasi.
Dalam tulisan ini saya coba tempatkan actor
demokrasi sebagaimana pemicu terjadinya konflik sedangkan masyarak merupakan
pihak yang di picu melakukan konflik.
Demokrasi yang di praktek dewasa ni membentuk
pengkotakan – pengkotakan baru antar kelompok simpatisan yang kemudian karena
di picu simpatisan fanatisme maka terjadilah permusuhan antar simpatisan, peranan
actor politik sangat besar disini diman kemudian doktrin – doktrin fanatisme
terhadap simpatisanya berujung pada tindakan berlebihan oleh simpatisan
terhadap kelompok lain. Di samping ini persainga politik yang tidak secara
sehat menjadi satu kesatuan yang melahirkan konnflik antar kelompok masyarakat.
Hal inilah kenapa kemudian penulis memasukan actor demokrasi serta masyarakat
sebagai fariabel dalam memicu dan melahirkan konflik sosial.
4. Lemahnya
yudikatif serta regulasi Negara.
Poin ke empat ini saya coba lirik pihak
pengawas penyelengara konstitusi yang kemudian seolah – olah buta serta
binggung harus melakukan apa untuk meredam konflik sosial yang terjadi secara
berturut – turut di dompu nusa tenggara barat ini. Karna saya kita antara konstitusi
serta regulasi Negara yang di tunduki bersama sebagai seperangkat aturan dan
nilai yang telah di sepakati bersama dan di tunduki bersama pula dalam menopang
keberlangsungan sejarah dan peradaban, dengan pelangaran – pelangaran terhadap
seperangat aturan tersebut merupakan satu kesatuan masalah yang mesti harus
kita jawa di mana pertanyaanya ialah yang pertama apakah sesungguhnya aturan
yang berlaku sudah merupakan aturan yang di sepakati bersama dengan masyarakat
sehingga masyarakat tau bagaiman aturan yang menopang hidupnya sehingga mereka
harus dan wajib tunduk terhadap aturan tersebut, ataukan aturan tersebut
merupakan aturan yang di sepakati bersama oleh pemerintah sehingga masyarakat
tidak sadar dan tidak tau apa aturan yang telah di sepakati sehingga kemudian
masyarakat binggung mau tunduk terhadap aturan yang mana dan berujung pada
ketidak tundukan terhadap aturan yang ada?, yang kedua ataukah pihak pengawas
dan pengadil yang kemudian masih tidur dan binggung dengan apa yang harus
mereka lakukan dalam menegakkan aturan yang telah di sepakati dan ataukah
memang mereka sendiri tidak tau yang mana aturan yang ada dan menopang
peradaban mereka sehigga kemudian mereka ikut tergabung dalam melanggar aturan
tersebut??. Dan sudara – saudaraku inilah yang perlu kita jawab bersama.
Silahkan yang mau jawab tulis di komentarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berikan kritik dan saran anda.