Rabu, 01 Oktober 2014

PERANG MANGGELEWA



PERANG MANGGELEWA
A.           Latar Belakang
Peristiwa sejarah adalah peristiwa yang selalu diabaikan dalam setiap perjalanan hidup manusia, kadang sejarah dijadikan suatu wacana penghias deretan lemari perpustakaan, dan kadang pula menjadi dongeng pengantar tidur secara turun temurun. Memang tidak mudah untuk menyibak kebenaran di balik sejarah, dan juga tidak mudah membuktikan kepastiannya. Namun perlu diketahui bahwa mengetahui dan mempelajari sejarah berarti mengetahui apa yang mesti kita lakukan untuk hari ini dan esok, serta seterusnya.
Menelusuri jejak sejarah lokal merupakan cara yang terbaik dalam membuka wacana keilmuan bagi generasi Dompu, untuk dijadikan pedoman dalam memberantas segala bentuk penindasan-penindasan yang ada.
Perang Manggelewa adalah satu symbol petriotisme yang dimiliki anak bangsa dalam berjuang meraih kemerdekaan. Mesti tidak sebesar perang Diponegoro, dan perang-perang lain di Nusantara ini, namun darah dan air mata telah menyertai peristiwa itu. Dan itu harus dihargai sebagai sebuah perjuangan dari pendahulu-pendahulu bangsa ini.
B.            Latar Belakang Terjadinya Perang Manggelewa
Tahun 1941 adalah tahun kemenangan jepang dalam menguasai Samudera Pasifik, dimana pada tahun ini pula Belanda sudah keluar dari kawasan Indonesia, namun mendengar Jepang ingin melakukan kolonialisme di Indonesia, Belanda kembali memasuki wilayah Indonesia dengan pasukan gabungannya yang dinamakan Belanda Nika.
Belanda Nika merupakan Belanda gabungan yang terdiri dari Inggris, Australia dan Belanda itu sendiri. Ini bertujuan untuk menguasai kembali wilayah Indonesia agar tidak dikuasai oleh Jepang.
Ketika Belanda merencanakan untuk memasuki wilayah Bima-Dompu, pemimpin Bima-Dompu sudah mengetahuinya, hal ini tidak terlepas dari informasi-informasi yang disampaikan oleh jeneli Kempo yaitu Dae Emo. Jeneli Dae Emo memberitahukan tentang keberadaan Belanda yang sudah dekat dengan wilayah Dompu. (Versi narasumber yang diwawancara  mantan pejuang “Muhtar Abidin”).
Pendapat lain datang dari seorang saksi sejarah (dalam bukunya Mokh. Nasuhi & Muh. Faisal, kisah heroik perang manggelewa :19) H. Tamin H. Adam, bahwa perang Manggelewa terjadi karna ulah dari dua orang Belanda.
Seorang berpangkat controler yang dipercayai untuk mengepalai pemerintah kerjaan Bima-Dompu dan seorang lagi bernama Hafd Boswesen atau kepala kehutanan Kerajaan yang terkenal dengan pangggilan Tuan Komba. Keduanya sepakat mengeruk semua uang-uang pajak dari kas kerajaan Bima-Dompu untuk dibawa pulang ke Belanda karena takut pada Jepang yang mulai masuk ke Dompu.
Tuan Komba dan Controler Belanda ini setelah tiba di Sumbawa Besar dengan membawa uang yang diambil dari kas kerajaan, mereka kemudian melaporkan bahwa di Bima-Dompu menyimpan gerombolan (pemberontak) yang akan melawan pemerintah. Upaya propaganda dari kedua kompeni ini ternyata diterima mentah-mentah oleh sisa-sisa kolonial yang ada di Sumbawa. Mereka mempersiapkan tenaga baik yang berkebangsaan Belanda, maupun polisi yang berada di Sumbawa Besar untuk menyerang dan menghancurkan apa yang ada di Bima dan Dompu. Kemudian tokoh masyarakat dan pemuda mulai mengatur kekuatan dan senjata seperti keris, tombak dan lain-lainnya untuk alat perang melawan kolonial Belanda.
C.           Meletusnya Perang Manggelewa
Peristiwa perang Manggelewa merupakan salah satu bentuk perjuangan masyarakat Bima-Dompu dalam menentang dan melawan kolonialisme penjajah. Meskipun perlawanan itu masih bersifat kedaerahan, namun rasa Perjuangan itu telah diwujudkan dalam satu tekad mempertahankan harga diri sebagai sebuah negeri yang memiliki tanah air yang sah yakni Indonesia.

                                                                                                        2
Terjadinya perang Manggelewa di Soriutu ada dua versi. Versi pertama adalah menurut H. Tamin H. Adam, seorang saksi sejarah (dalam bukunya Mokh. Nasuhi & Muh. Faisal, kisah heroik perang manggelewa :19),
Berawal dari tingkah dua orang Belanda yang melakukan propaganda pada sisa-sisa kolonial yang ada di Sumbawa inilah terjadinya perang Manggelewa. Tepat pada tanggal 5 April 1942 (versi H. Tamin H. Adam), Belanda datang dari Sumbawa bertemu dengan pasukan dari Bima-Dompu. Rombongan dari Sumbawa berhenti di Cabang Banggo, sedangkan dari Bima-Dompu berhenti di jembatan Kampaja (Soriutu) karena melihat sinar lampu mobil musuh.
Pasukan dari Sumbawa maupun Bima-Dompu, sama-sama mematikan lampu mobilnya masing-masing untuk mengatur siasat. Mobil pasukan Belanda terlihat ingin atrek, namun ban mobilnya terselip di parit jalan. Mereka atas. Dalam suasana tenang itu, dua kakak beradik (H. Tamin dan A. Rasul) langsung mendekati mobil dari arah belakang dan terlihat jeneli Kempo (Abdullah Daeng Tanga) duduk berjungkuk di muka Controller di sebelah kiri jalan dan yang lain di sebelah kanan jalan.
Saat tembak-tembakkan berlangsung, seorang polisi menghindar ke semak sebelah kiri jalan dari kempo. Dan ketika tembak-menembak berhenti, H. Tamin dan A. Rasul mendekati polisi ini karna dipanggil oleh jeneli Kempo. Dengan alasan untuk membantu, keduanya meminta senapan kepada pihak Belanda yang mulai terdesak. Senapan itupun diarahkan langsung ke arah kompeni dan dalam waktu yang bersamaan mereka lari menjauh.                                                                                               
Versi kedua adalah dari seorang pelaku/pejuang Perang Manggelewa itu sendiri (diwawancara 11 Desember 2011 : 12). Yang menceritakan bahwa Belanda datang dari arah Lombok, kemudian melalui Sumbawa. Informasi penyerangan itu didapatkan dari seorang jeneli Kempo yang bernama Dae Emo. Berdasarkan informasi tersebut Sultan Salahuddin mengerahkan masyarakat Bima-Dompu untuk siap siaga dalam menghadapi pasukan Belanda Nika yang datang dari arah Sumbawa.
Dari lama perjalanan yang ditempuh oleh pasukan Belanda, dijadikan kesempatan bagi pasukan Bima-Dompu untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi serangan Belanda. Ketika pasukan Belanda memasuki wilayah dompu, pasukan Bima-Dompu mulai mengatur strategi untuk melawan pasukan Belanda. Hingga akhirnya pasukan Belanda dan pasukan Bima-Dompu berhadapan di wilayah Soriutu tepatnya disekitar pohon asam yang telah dijadikan benteng pertahanan oleh pasukan Bima-Dompu. Ketika itu pasukan Bima-Dompu dipimpin oleh anak dari Sultan Salahuddin yaitu Abdul Kahir (Sudanso), Abdul Kahir berhasil mengerahkan pasukannya untuk mengusir mundur pasukan Belanda, dengan berbagai strategi yang telah diatur sebelumnya, akhir pasukan Bima-Dompu mampu melawan dan mengusir penjajah.
D.           Strategi Yang Digunakan Dalam Perang Manggelewa
Kejadian Perang Manggelewa memakan waktu selama tiga hari, yang puncak pertempurannya yaitu berlangsung pada malam sampai siang hari. Berkat ijin Allah dan strategi yang telah diatur sedemikian rapi, sehingga kemenangan dapat diraih oleh putera Bima-Dompu.
Adapun strategi yang digunakan oleh pasukan Bima-Dompu yaitu mengepung dan mengelilingi kawasan yang akan di datangi pasukan Belanda. Sebagian berada di belakang penjajah dengan melewati semak belukar atau area hutan, agar tidak diketahui oleh penjajah dan sebagian lagi berada di depan untuk menghadang datangnya pasukan Belanda tersebut.
Pasukan Belanda tidak pernah menyadari bahwa ada sebagian pasukan Bima-Dompu yang menyerangnya dari belakang, sehingga ketika mereka ingin mundur dan lari dari serangan yang ada di depan, mereka sudah dikepung oleh pasukan yang ada di belakang, dengan demikian pasukan Bima-Dompu mampu menaklukkan penjajah.
Sekalipun bentuk perlawanan yang dilakukan pasukan Bima-Dompu pada saat itu masih bersifat kedaerahan, namun tidak mematahkan semangat mereka dalam melawan penjajah. Kemenangan diraih oleh putera Bima-Dompu murni karena adanya semangat nasionalisme dalam diri mereka, bersatu untuk membela bumi tercinta dan membebaskan diri dari penindasan-penindasan yang dilakukan penjajah-penjajah di tanah air.
E.            Tokoh-Tokoh Yang Berperan Dalam Perang Manggelewa
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, perang Manggelewa tidak berlangsung lama, hal ini mempengaruhi pengetahuan tentang siapa saja yang sangat berperan dalam perang tersebut. Namun berdasarkan data dan hasil wawancara yang kami dapatkan, ada beberapa orang yang dapat disebut sebagai tokoh utama yang sangat berperan ketika terjadinya peristiwa perang Manggelewa tersebut.
Tokoh-tokoh yang dimaksud adalah jeneli Kempo yaitu Dae Emo, Sultan Salahuddin dan putera Kahir (anaknya), H. Tamin beserta adiknya A. Rasul, dan para pemuda-pemuda Bima-Dompu.
Jeneli Kempo (Dae Emo) adalah orang yang pertama kali memberi informasi atas kedatangan Belanda untuk menyerang Bima-Dompu, selain itu Dae Emo juga salah satu pasukan yang melawan penjajah, meskipun akhirnya ia tewas dalam peperangan. Kemudian Sultan Salahuddin dan Puteranya Abdul Kahir. Sultan Salahuddin adalah Pemimpin Bima-Dompu pada saat itu, ia mengerahkan masyarakat Bima-Dompu untuk melawan pasukan Belanda yang datang menyerang. Dan anaknya Putera Kahir ditunjuknya sebagai pemimpin pasukan Bima-Dompu dan terlibat langsung dalam peperangan tersebut. Selanjutnya adalah H. Tamin dan adiknya A. Rasul, mereka adalah pasukan yang melakukan strategi perang dari belakang pasukan Belanda. Dan yang terakhir adalah pemuda-pemuda Bima-Dompu yang terlibat langsung dalam perang Manggelewa, berkat semangat persatuan dan kesatuan yang ada dalam setiap pejuang, sehingga menghasilkan tujuan yang ingin dicapai yaitu kemenangan dan kebebasan.
F.            Kesimpulan
1.             Latar Belakang terjadinya perang Manggelewa yaitu adanya keinginan bangsa Belanda untuk menguras kekayaan Bumi Pertiwi.
2.             Meletusnya perang Manggelewa terjadi tepat di wilayah Soriutu dan berlangsung sehari semalam.
3.             Strategi-strategi yang dilakukan Pasukan Bima-Dompu untuk memenangkan perang Manggelewa adalah menguasai wilayah yang akan didatangi oleh pasukan Belanda.
4.             Tokoh-tokoh yang berperan dalam perang Manggelewa yaitu, jeneli Kempo (Dae Emo), Sultan Salhuddin dan Puteranya Abdul Kahir, dan pejuang-pejuang pada saat itu.
G.           S a r a n
Berawal dari sebuah sejarah, kita bisa menyikapi dan menghargai bentuk perjuangan yang dilakukan para pejuang-pejuang tanah air. Menciptakan kemenangan itu tidak mudah, namun dengan tekad dan semangat nasionalisme yang tinggi maka kemenangan itu akan bisa kita raih. Bercermin dari pengorban para pejuang, mari ! kita sama-sama melawan segala bentuk penindasan-penindasan yang ada guna mendapatkan kemerdekaan yang abadi. Allah tidak akan merubah nasib sesuatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.
DAFTAR BACAAN
Mokh. Nasukhi, Muh. Faisal. 2005. Kisah Heroik Perang Manggelewa. Mataram NTB. CV Mahani Persada.
Wawancara dengan Muhtar Abidin (mantan pejuang Manggelewa yang sekarang menjadi pengurus/perintis pejuang KRI Bima-Dompu). Tanggal 11 Desember 2011. Jam 12.51.

Rabu, 02 Oktober 2013

PERGURUAN TINGGI SWASTA SERTA LARANGAN KOMERSIALISASI DALAM PERSPEKTIF UU NO 12 TAHUN 2012.



PERGURUAN TINGGI SWASTA SERTA LARANGAN KOMERSIALISASI DALAM PERSPEKTIF UU NO 12 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN TINGGI.

Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya disingkat PTS adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat. Yang kemudian bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menegakkan Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma. Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan/atau pengujian suatu cabang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengabdian kepada Masyarakat adalah kegiatan sivitas akademika yang memanfaatkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembelajaran adalah proses interaksi mahasiswa dengan dosen dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

Adanya otonomi perguruan tinggi memberikan ruang kepada perguruan tinggi swasta untuk lebih mandiri mengelola dan mengembangkan perguruan tinggi tersebut dengan dibuatnya statuta sebagai acuan untuk mengelola perguruan tinggi.

Untuk menghindari adanya upaya komersialisasi yang dilakukan oleh masyarakat yang menyelenggarakan perguruan tinggi tersebut maka pemerinta mengelurkan UU NO 12 TAHUN 2012 TENTANG  PERGURUAN TINGGI. Sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 63 Bahwa Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. akuntabilitas;
b. transparansi;
c. nirlaba;
d. penjaminan mutu; dan
e. efektivitas dan efisiensi.

Yang menarik disini bahwa sebuah kewajiban bagi pergurun tinggi untuk menyelenggarkn pendidikan tinggi secara transparansi dan akuntabel, sebagaimana yang dijelaskan dalam (Pasal 78) bahwa Akuntabilitas Perguruan Tinggi merupakan bentuk pertanggungjawaban Perguruan Tinggi kepada Masyarakat yang terdiri atas:

a. akuntabilitas akademik; dan
b. akuntabilitas nonakademik.

Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya wajib diwujudkan dengan pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Akuntabilitas Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya dilakukan melalui system pelaporan tahunan. Laporan tahunan akuntabilitas Perguruan Tinggi
dipublikasikan kepada Masyarakat. Artinya bahwa sebuah kewajiban adanya prinsip akuntabilitas dan transparansi oleh penyelenggaran pendidikan tinggi swasta kepada seluruh masyarakat dan mahasiswa sehingga tidak ada indikasi – indikasi komersialisasi oleh mahasiswa dan masyarakat terhadap berdirinya suatu perguruan tinggi.

Kepada mahasiswa yang menjadi bagian dari perguruan tinggi tentu, sebuah kewajibanh untuk mengontrol pelaksanaan tata kelola perguruan tinggi ketika kemudian perguruan tinggi tersebut di nilai tidak akuntabel transparan, sebab selama ini mahasiswa hanya bisa mengurus bagian eksternal pergu8ruan tinggi, mencari – cari kesalahan pemerintah, sementara di internal perguruan tinggi tidak dilakukan upaya – upaya pengontrolan yang jelas.

Kepada para mahasiswa yang merasa bagian dari katalisator perubahan mari kita sama – sama tempatkan diri kita untuk mengontrol segala upaya yang memaksa kita untuk tunduk dan patuh padahal ketundukan itu membuat kita diperas, darah kita dihisap perlahan- lahan karna tidak ada yang bisa merupah tirani itu kecuali kita sebagai mahasiswa yang menjuadi katalisator perubahan.

KAMPUS TEMPAT KITA MENCARI ILMU BUKAN TEMPAT KITA TUNDUK DENGAN SEGALA TIRANINYA.

Selasa, 09 Juli 2013

MAKALAH SEJARAH GERAKAN SOSIAL PETANI



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah.

Moore (1966), mencirikan petani sebagai kelompok yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lain, dengan melihat posisinya sebagai golongan yang tersubordinasi serta mempunyai budaya yang tersendiri. Sejalan dengan hal tersebut Shanin (1971) dalam tulisan yang berjudul Peasantry as a Political Factor, mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian skala kecil yang menggunakan peralatan yang sederhana dan mengerjakan lahan dengan tenaga kerja keluarga, dimana hasil produksi sebagian besar digunakan untuk konsumsi pribadi dan untuk memenuhi kewajiban mereka kepada pemegang kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Namun seiring perkembanganya hubungan petani dengan pihak yang diatasnya menimbulkan masalah agrarian yang berkepanjangan, mulai dari era feodalisme, kolonialisme, sampai kapitalisme bahkan masih berlangsung sampai sekarang ini.
Menurut Moch. Tauchid dalam bukunya “Masalah Agraria” (1952), seperti yang di kutip oleh Andi Yani Sultani seorang mahasiswa pascasarjan Institut Pertanian Bogor dalam artikelnya yang berjudul Konflik dan Kebijakan Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa menjelaskan “Soal agrarian adalah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia ; tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan”. Karena nilainya yang sangat berharga, maka konflik tanah selalu hadir di tengah-tengah dinamika sosial di masyarakat. Tanah terbagi-bagi menjadi hak milik akibat adanya stratifikasi sosial, penguasaan produksi, kekuasaan politik dan sebagainya. Dengan adanya kepemilikan tanah, manusia berupaya mempertahankan atau bahkan memperluasnya untuk keberlangsungan hidup.


B.            Rumusan Masalah.
1.             Bagaiman dinamika pertanian sebagai sumber kehidupan dan lahan produksi utama petani dalam hubunganya dengan penguasa dan kaum swasta pada masa colonial yang menjadikan dasar gerakan social dari petani…?
2.             Apa yang menyebabkan lahirnya gerakan social petani sebagai upaya untuk menuntut hak – hak mereka akibat diskriminasi, eksploitasi, radikalisme dan hegemoni kelas atas, dalam hal ini pemerintah, maupun pihak – pihak swasta pada masa colonial.?
3.             Jalaskan polarisasi gerakan yang di bangun oleh para petani pada masa colonial dalam membendung hegemoni politik colonial dan pihak swasta lainya..?


BAB II
PEMBAHASAN.
A.           Dinamika Pertanian Sebagai Sumber Kehidupan Dan Lahan Produksi Utama Petani Dalam Hubunganya Dengan Penguasa Dan Kaum Swasta Pada Masa Colonial.
Bagi petani tanah tidak hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga bermakna sosial dan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan tempat sumber makanan, tempat mencari penghidupan, sebagai tempat melakukan aktivitas produktif, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Secara sosial tanah berarti eksistensi diri, sebagai tempat untuk menemukan dirinya secara utuh, bahkan tanah merupakan simbol status sosial di dalam masyarakat. Di dalam makna keamanan, tanah akan membawa rasa aman tertentu bagi petani jika sesuatu terjadi pada diri mereka, yang berarti tanah membawa efek psikologis bagi petani. Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal utama, disanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, tanah memiliki nilai yang begitu besar. Didalam beberapa kebudayaan, tanah bahkan dipandang sebagai sikep (istri) kedua (Bahri, 1999).
Studi yang dilakukan oleh Scott (1974 dan 1989) dan Popkin (1976), di pedesaan Asia, mengenai maraknya gerakan perlawanan petani pada masa kolonial, memperlihatkan terdapatnya empat faktor utama penyebab kemarahan kaum tani, yaitu perubahan struktur Agraria, meningkatnya eksploitasi, kemerosotan status sosial, dan desprivasi relatif. Perubahan struktur agraria di pedesaan Asia, khususnya Jawa, dipengaruhi adanya sistem kolonialisme. Melalui kolonialisme, desa – desa di Asia terintegrasi dengan sistem kapitalis dunia. Penduduk desa di Asia pada massa pra-kapitalis merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada tingkat subsisten. Eksploitasi kolonial ditambah dengan tekanan demografi yang semakin meningkat, mengakibatkan rusaknya pola – pola yang sudah ada, serta mengkhianati sendi - sendi moral ekonomi petani yang didasarkan pada etika subsistensi (Scott, 1976).
Menurut Sartono Kartodirjo (1991) berpendapat bahwa terdapat dua transformasi penting di era kolonial. Pertama, pengalihan secara besar – besaran disektor pertanian, dari yang semula merupakan pertanian subsistem menjadi pertanian yang berorientasi ekspor. Kedua, dibentuknya negara modern yang ditopang oleh birokrasi dan militer untuk mengontrol wilayah jajahan. Salah satu bentuk transformasi tersebut mengejawantah dalam bentuk perkebunan – perkebunan besar. Pengenalan sistem pertanian modern dalam bentuk perkebunan berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan atas tanah dan tenaga kerja. Penguasaan tanah semakin terlepas dari tangan penduduk, mereka yang tidak memiliki tanah beralih menjadi penggarap buruh tani upahan dan buruh perkebunan. Kolonialisme dan masuknya ekonomi uang berangsur – angsur telah menghapus jaminan sosial yang ada pada masa pra-kapitalis. Transformasi agraria yang terjadi telah menghilangkan jaring pengaman sosial keluarga – keluarga petani miskin dari bencana kelaparan. Kedermawanan sosial yang semula ada pada masa bagi hasil, kini tidak lagi berlaku umum. Pemerintah kolonial sama sekali tidak memberikan perlindungan kepada para petani miskin terhadap fluktuasi pasar (Kartodirjo, 1984).

B.            Faktor  Lahirnya Gerakan Sosial Petani.
Kemerosotan ekonomi secara mengejutkan, dimana hal tersebut dibarengi dengan peningkatan eksploitasi yang dilakukan oleh negara atau tuan tanah. Ekploitasi yang dilakukan secara berkelanjutan dengan kualitas yang terus meningkat, menimpa banyak petani, dan hampir terjadi diseluruh wilayah, serta dapat mengancam jaring pengaman sosial mereka atas sumber – sumber subsistensial, maka besar sekali kemungkinan eksploitasi tersebut mencetuskan sebuah aksi perlawanan.
Perlawanan petani lahir karena adanya pengorganisasian yang di alkuakan oleh satu atau beberapa orang tokoh karismatik. Seperti halnya kata Marx (1850) dalam Peasantry as a Class, bahwa petani tidak dapat memperjuangkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri. Mereka tidak mampu merepresentasikan diri mereka kedalam sebuah kelas, mereka harus diwakilkan. Perwakilan tersebut, pada saat yang bersamaan haruslah bertindak sebagai pemimpin, pembuat peraturan, dan kekuatan institusional yang dapat melindungi mereka dari tekanan kelas lain.
Tekanan struktural, kultural, hingga kondisi subsistensi petani yang sudah melampaui batas toleransi, menurut Scott (1976), hal ini sudah cukup untuk menjadi pemicu bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Gerakan – gerakan perlawanan petani, pada bentuk sederhana seringkali berpusat pada mitos tentang suatu tatanan sosial yang lebih adil dan merata ketimbang dengan tatanan sosial yang sekarang bersifat hirarkis. Lahirnya suatu mitos bersama tentang keadilan yang transedental sering dapat menggerakan kaum tani untuk melakukan gerakan sosial. Mitos – mitos seperti ini mempersatuakan kaum tani hingga mampu membentuk koalisi – koalisi petani, meskipun tidak stabil, sangat rentan, dan hanya dipersatukan untuk sementara waktu oleh suatu impian milenial (Wolf, 1966).
Berdasarkan penjelasan di atas secara umum ada beberapa factor yang memicu lahirnya gerakan social petani seperti sebagai berikut;
Pertama Radikalisasi terhadap Petani. Radikalisasi terhadap petani tersebut menjadi hal yang mendasar yang memicu lahirnya gerakan social dari petani pada masa colonial. Pada umumnya, kondisi tersebut berasal dari luar masyarakat petani, seperti penindasan, pungutan pajak, pengekangan hak, pembatasan kerja, dsb. Radikalisme terhadap petani ini rata terjadi semua terhadap petani pada masa colonial seperti yang terjadi di banten yang kemudian meahirkan pemberontakan petani banten 1888.
Pada tahun 1882 dan 1884 keadaan rakyat Banten khususnya di Serang dan Anyer ditimpa dua malapetaka; kelaparan dan penyakit sampar (pes) binatang ternak. Diperkirakan, hampir dua tahun hujan tidak turun, sehingga tanaman padi tidak ada yang tumbuh dan air minum pun sulit didapat. Musim kering yang berkepanjangan ini, menyebabkan kelaparan merajalela. Karena kurangnya makanan ini maka banyak penduduk yang terjangkit penyakit demam yang parah; terutama sekali kaum perempuan. Karena musim kemarau ini pula maka berjangkit wabah penyakit sampar (pes) yang menyerang ternak kerbau atau kambing (1880). Penyakit hewan ini menular dengan cepat, sehingga pemerintah kolonial menginstruksikan supaya membunuh dan mengubur atau membakar semua kerbau atau kambing di suatu desa yang di sana terdapat kerbau yang berpenyakit agar jangan menular ke desa lain.
Ironisnya, kerbau atau kambing yang dibunuh tentara kolonial ini, karena banyaknya, tidak sempat dikuburkan, sehingga bangkai hewan dapat ditemukan di mana-mana; dan ini mengundang datangnya penyakit baru lagi bagi rakyat desa. Tidak heran dari catatan yang ada pada bulan Agustus 1880, dari ± 210.000 penderita, tercatat lebih dari 40.000 orang di antaranya tidak dapat tertolong dan menemui ajalnya (Kartodirdjo, 1988:88).
Kesedihan yang mendalam itu ditambah lagi dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (tanggal 23 Agustus 1883), yang menimbulkan gelombang laut setinggi 30 meter melanda pantai barat Banten, menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, serta desa-desa Sirih, Pasauran, Tajur dan Carita. Kesemuanya merenggut korban ± 21.500 jiwa tenggelam disapu gelombang. Daerah tempat bencana alam itu luluh lantak tersapu gelombang pasang.
Musibah yang datang bertubi-tubi menimpa rakyat Banten dengan sendirinya membawa dampak luas, tidak hanya di bidang sosial ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial politik dan kehidupan keagamaan. Sementara itu, pihak pemerintah kolonial melaksanakan sistem perpajakan yang baru, sehubungan dengan penghapusan pelbagai kerja wajib, seperti kerja pancen dan kerja rodi. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan itu, pengenaan pertanggungan pajak di luar kewajaran, semakin menambah penderitaan rakyat.
Berbagai macam pajak yang dikenakan kepada penduduk negeri; dari mulai pajak tanah pertanian, pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar sampai kepada pajak jiwa yang besarnya kadang-kadang di luar kemampuan dan penetapannya tidak mengenal keadaan, ditambah dengan kecurangan-kecurangan pegawai pemungut menambah keresahan dan mempersubur rasa benci penduduk kepada penjajah.
Radikalisme terhadap petani ini jugalah yang menyebabkan gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah.
Yang ke dua Pengorganisiran Petani Proses mobilisisasi petani, baik berupa sumberdaya yang bersifat terbatas seperti uang dan makanan ataupun individu petani itu sendiri, guna mencapai suatu tujuan tertentu, pengorganisiran dapat bersifat formal atau informal. Pengorganisasian petani ini biasanya di lakukan oleh seorang tokoh karismatik dalam rangka menanamkan dokrinitas untuk melawan segala bentuk penindasan terhadap politik colonial, dan kapitalisme. Dengan hal ini masyarakan percaya akan sesuatu hal yang berkaitan dengan juru pembebasan ataupun juru selamat yang akan membebaskan mereka. Perorganisasian petani ini bias kita lihat dari gerakan petani banten, gerakan ratu adil dll.
Yang ke tiga Makna Tanah Bagi Petani. intepretasi yang timbul dari ikatan – ikatan yang ada antara petani dengan tanah, dapat bersifat ekonomi, sakral, ataupun kultural. Hal ini kemudin terjadi sebuah perubahan oleh system yang di berlakukan oleh pemerintahan hindia belanda. Dimana semulanya tanah merupakan hal yang sakral bagi petani namun politik colonial mengambil alih itu semua.


C.           Polarisasi Gerakan Yang Di Bangun Oleh Para Petani Dalam Membendung Hegemoni Politik Colonial Dan Pihak Swasta Lainya.
Beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Perang Jawa atau banyak dikenal sebagai perang Diponegoro menjadi salah satu bentuk perlawanan kaum tani yang pada saat itu mengalami penderitaan karena dikenai berbagai macam pajak baik oleh Belanda maupun kerajaan Mataram. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan Mataram. Bukan pertama-tama karena kepahlawanan Pangeran Diponegoro, karena ajakan Diponegoro untuk melawan Belanda tidak akan disambut luas jika massa rakyat memang tidak memendam kemarahan besar terhadap Belanda. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang Jawa dapat terjadi, meluas di berbagai wilayah di Jawa, dan bertahan selama kurun waktu yang lama (5 tahun).
Untuk kasus pemberontakan atau perlawanan petani di Banten mulai muncul ketika tahun 1808, Daendels mengapuskan tanah-tanah milik sultan lalu memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah. Pemegang-pemegang hak atas tanah menerima ganti rugi atas kehilangan pendapatan dari upeti dan kerja bakti. Namun, hal ini justru memunculkan peluang-peluang pamongpraja untuk melakukan korupsi. Disinilah kemudian timbul suatu konflik kepentingan yang mencekam masyarakat Banten sampai meletusnya pemberontakan.
Perlawanan bersenjata ini merupakan yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid atau KH. Wasyid.
Bentuk perlawanan petani ini juga dapat terlihat dari bentuk gerakan resistensi petani yang dipimpin oleh dua orang tokoh, Entong Tolo dan Entong Gendut dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik di salah satu distrik Jatinegara. Mereka dikenal sebagai “Robin Hood” Batavia yang anti tuan tanah. Entong Tolo 50 tahun seorang pedagang asal Pondok Gede kemudian pindah ke Pagerarang, Jatinegara. Dalam situasi masyarakat yang tidak menentu Entong Tolo mengambil keuntungan, dia membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang menderita karena tekanan berbagai pajak. Polisi agak kewalahan memenjarakan Tolo karena tidak mempunyai bukti.
Perbanditan Entong Gendut terjadi pada tahun 1916, dia meneriakkan suara ketidakpuasan petani di tanah partikelir Tanjung Timur, Asisten Wedana Pasar Rebo, Afdeling Jatinegara. Resistensi petani di tanah partikelir ini kemudian berkembang menjadi gerakan Quasi-Religius. Entong Gendut menghalangi eksekusi penduduk Batuampar dan Balekambang, Condet yang tidak melunasi hutang dan kewajiban mereka terhadap tuan tanah. Pengikut Entong Gendut bertambah banyak dan ia menyebut dirinya Raja Muda yang dibantu delapan orang patih. Perbanditan Entong Gendut pada dasarnya adalah perbedaan kepentingan yang bermaksud melindungi petani dari penghisapan dan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang membakar rumah mereka, keberanian para bandit itu diikat oleh nilai religious.
Kaiin Bapa Kayah memimpin untuk mengusir Cina dan merampas tanahnya, karena menurut mereka tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya. Resistensi petani di wilayah lainnya juga banyak dilakukan dengan cara pembakaran terhadap lahan perkebunan. Pembakaran tebu dan los tembakau dan sejenisnya banyak terjadi di daerah Surakarta. Namun demikian laporan colonial tidak member porsi yang wajar terhadap resistensi petani berupa pembakaran.
Terjadi pula perlawanan petani dengan orientasi utama adalah anti tuan tanah partikelir. Gerakan ini dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Kaiin Bapa Kayah dari desa pangkalan mempunyai tujuan untuk membebaskan penduduk dari cengkeraman tuan tanah Cina.
Konsep ratu adil akan diikuti dengan konsep berikutnya, yakni Milenarianisme. Milenarianisme atau milenialisme adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah kearah yang positif (atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas). Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.
Tiga unsur gerakan Saminisme: pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok, dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan.
Dalam catatan sejarah bentuk perlawanan massa yang berkaitan dengan persoalan agraria tidak lepas dari corak pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Hal demikian dimungkinkan, mengingat pertanahan acapkali menjadi bagian dari perpolitikan, sebagai alat bagi kepentingan penguasa. Di sisi lain, upaya perlawanan pun tidak terjadi dengan sendirinya, sebagai letupan emosi spontan para petani. Di balik aksi tersebut, keberadaan pihak-pihak yang bersimpati pada penderitaan petani mampu memberikan akses dan bahkan mewujudkan perlawanan tersebut. Beberapa kesan seperti ini begitu kental terlihat dalam berbagai kasus sengketa pertanahan. Pada era kolonialisme, kebijakan tanam paksa dan penerapan pajak tanah merupakan awal dari tertanamnya rasa kebencian masyarakat, terutama bagi mereka yang berada jauh dari lingkaran kekuasaan. Bentuk-bentuk paksaan dan pungutan yang sangat eksploitatif ini dianggap merusak sistem pemilikan tanah di pedesaan. Dalam sekejap, tanah rakyat menjadi semakin terfragmentasi, menyusut dan membuat kehidupan ekonomi petani semakin melarat.
B.            Saran.
Gerakan social petani masa kolonialisme dan diskriminasi, eksploitasi, dan radikalisasi yang tercipta saat itu haruslan menjadi landasan berpikir kita bahwa sampai hari ini penindasan pola yang sama yang lahir dari system jaman dahulu juga ikut terjadi di jaman sekarang. Dari hal tersebut tinggal bagaimana kita menyikapinya, dan pertanyaanya sekarang, gerakan apa untuk membebaskan rakyat dari diskriminasi, eksploitasi, dan radikalisasi yang tercipta. Silahkan kawan – kawan berpikir.